Demikian judul pelatihan yang difasilitasi Yayasan IDEP sejak 6-10 November 2017 di Training Center Yayasan IDEP. Pelatihan tersebut diselenggarakan Yayasan Penabulu dan Yayasan IDEP dengan dukungan Regional Implementation Team (RIT) Burung Indonesia dan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF).
Di kebun demo Yayasan IDEP, para partisipan diajak belajar membuat bedengan bedengan berbentuk spiral yang memiliki banyak manfaat penting (Foto: Edgipi)
Sejumlah organisasi, yang sejauh ini bergiat dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan berbasis masyarakat, menjadi partisipannya. Mereka adalah Yayasan Tunas Jaya (Manggarai), Wahana Tani Mandiri (Maumere), Yayasan Panorama Alam Lestari (Poso), Perkumpulan Salanggar (Banggai), Perkumpulan Sampiri (Sangihe), Lembaga Partisipasi Pembangunan Maluku, YPPM Maluku, dan Yastra Maluku.
Mengutip Mario Ginting dari Yayasan Penabulu, dewasa ini banyak daerah yang penting bagi keragaman hayati mengalami tekanan karena praktik pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan, pembakaran lahan, serta penggunaan zat-zat kimia berlebihan merupakan sebab-sebab yang paling umum bagi degradasi ekosistem alami maupun non-alami. Di sisi lain, pola pemanfaatan sumber daya alam yang bersifat ekstensif menghasilkan keluaran yang kurang optimal. Jika masuk lebih dalam, maka salah satu penyebab utama fenomena tersebut adalah terbatasnya akses masyarakat terhadap pengetahuan, keterampilan, dan juga fasilitas untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya yang tidak saja produktif namun juga berkelanjutan.
Dalam situasi yang mengkhawatirkan tersebut, permakultur sebagai sebuah model pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dapat menjadi solusi alternatif, baik untuk skala kecil maupun skala besar. Dengan prinsip memanfaatkan alam secara bijaksana dan adil, permakultur menjadi sebuah strategi untuk konservasi sumber daya alam sekaligus pada saat bersamaan mewujudkan penghidupan yang berkelanjutan.
Na’am Seknun, partisipan dari Ambon sedang mempresentasikan rancangan Peta Zona Permakultur di salah satu desa dampingannya (Foto: Edgipi)
Pelatihan ini diharapkan dapat mencapai dua tujuannya. Pertama, meningkatkan pengetahuan partisipan dan masyarakat yang didampinginya mengenai praktik permakultur yang mendukung konservasi jenis dan habitat di Kawasan Wallacea, termasuk bagaimana mengaitkan antara keberhasilan permakultur dengan kelestarian keragaman hayati yang ada di sekitarnya. Kedua, melatih partisipan dan masyarakat yang didampinginya dalam mengintegrasikan permakultur ke dalam kebijakan dan program pemerintah desa untuk menjamin keberlanjutan program-program mereka.
Selama lima hari, partisipan diajak untuk belajar bersama seputar konsep dan prinsip dasar tentang permakultur, keterhubungan permakultur dengan kelestarian keragaman hayati, pengintegrasian permakultur dalam perencanaan tingkat desa, refleksi pelaksanaan program organisasi partisipan, dan penumbuhan jejaring kerja. Dan sesuai dengan prinsip permakultur, di tiap sesinya selalu ada diskusi yang difasilitasi untuk mendorong mereka menggali potensi lokal di wilayah kerjanya masing-masing.
Selain “di kelas”, mereka juga difasilitasi untuk secara langsung mempraktikan materi-materi permakultur di demo-site yang terletak di seputar area Training Center Yayasan IDEP. Tidak hanya itu, mereka juga bahkan diajak mengunjungi Desa Yeh Embang Kauh, salah satu desa di Bali Barat. Di desa ini, mereka diajak untuk belajar dari dekat tentang praktik permakultur dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang telah dirintis Base Bali, salah satu komunitas masyarakat di sana yang merupakan mitra Yayasan IDEP, dan bagaimana proses integrasinya dengan program-program desa.
Para partisipan bersama Komunitas Base Bali dan kelompok masyarakat Desa Yeh Embang Kauh (Foto: Edgipi)
Dengan bekal pengetahuan, keterampilan, dan penghayatan terhadap prinsip-prinsip permakultur, para partisipan di akhir pelatihan akhirnya berhasil merumuskan Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) masing-masing organisasi di masing-masing komunitas masyarakat yang didampinginya. Pemberdayaan kapasitas-kapasitas lokal menjadi pertimbangan utama dalam proses perumusan itu.
Dari komentar-komentar yang terlontar selama pelatihan, para partisipan benar-benar merasakan manfaat pelatihan ini dalam kerja-kerja mereka. Mereka pun berharap agar jejaring yang sudah terbentuk itu dapat menjadi wadah untuk saling berbagi, terutama terkait dengan penerapan permakultur sebagai strategi konservasi sumber daya alam dan penghidupan berkelanjutan.
Berikan bantuan yang akan merubah hidup. 100% mendanai proyek amal.
|