Sumba Timur sedang mencuri banyak perhatian belakangan ini. Lihat saja, dalam empat tahun terakhir, ada dua film bioskop yang diproduksi dengan menempatkan Sumba Timur sebagai latar utamanya, baik latar pesona alam maupun budayanya.
Dan seperti yang kerap tersaji dalam dua film itu, panorama sabana adalah salah satu magnet yang membuat Sumba Timur populer. Apalagi ketika matahari terbenam tiba. Perpaduan antara padang rumput, pohon-pohon yang tumbuh berjarak, kuda dan sapi gembalaan, serta matahari yang kemerah-merahan di ujung sabana seperti menghadirkan magis yang sulit dilewatkan begitu saja.
Dengan film sebagai salah satu pemicu, ditambah selera pariwisata yang sedang menjadi tren kekinian, jadilah Sumba Timur dengan seluruh pesonanya makin ramai dikunjungi wisatawan. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal, terus meningkat secara signifikan.
Namun demikian, ketika menelusup lebih dalam ke beberapa pelosok Sumba Timur, kondisi iklim dan pengaruhnya terhadap penduduk setempat menghadirkan cerita yang agak luput dari bingkai sinematik dan selera pariwisata tadi. Sumba Timur, seperti halnya wilayah NTT pada umumnya, punya rata-rata musim kering yang lebih lama dari musim penghujan. Biasanya, musim kering berlangsung hingga delapan bulan. Sedangkan empat bulan sisanya adalah musim hujan.
Kondisi demikian punya buntut yang panjang, terutama bagi penduduk yang tinggal di pelosok seperti RT 25, 26 dan 27 di Kelurahan Kawangu dan RT 13, 14 dan 15 di Kelurahan Watumbaka. Baik Kawangu maupun Watumbaka, keduanya merupakan bagian dari Kecamatan Pandawai. Sebagian besar penduduk di kedua kelurahan ini adalah petani. Selain petani, ada juga yang sekaligus menjadi nelayan, penggembala ternak dan penenun.
Di enam RT tadi, akses terhadap sumber air bersih dan sanitasi yang sehat dan layak masih sangat terbatas. Selama bertahun-tahun, penduduknya hanya mengandalkan air sungai terdekat sebagai satu-satunya sumber air utama, baik untuk keperluan Mandi Cuci Kakus (MCK) sehari-hari maupun untuk kebutuhan kebun dan ternak mereka.
Dari sini, masalah kemudian datang bertubi-tubi. Ketika musim kering tiba, debit air sungai menurun. Pasokan air kemudian menjadi terbatas. Mereka akhirnya tak punya pilihan selain tetap mengandalkan itu untuk memenuhi seluruh kebutuhan air mereka. Lepas dari itu, musim hujan datang dengan masalahnya sendiri. Meski singkat, musim penghujan ini punya intensitas yang tinggi. Debit air sungai jadi ikut meninggi hingga menyebabkan banjir bandang. Akibatnya, kebun-kebun yang sebagian besar mereka buat di bantaran sungai tadi habis disapu banjir. Belum selesai di situ, petaka lain muncul ketika hama yang marak di musim hujan mulai menyerang. Isi kebun pun kemudian raib dimakan hama.
Namun sebenarnya, yang justru lebih mengkhawatirkan adalah kondisi air sungai yang mereka konsumsi setiap hari tadi. Dari cerita penduduk, air sungai tersebut ternyata sangat rentan tercemar berbagai polutan seperti sisa pestisida kimia, sampah rumah tangga dan kotoran hewan yang terbawa dari hulu. Kebiasaan Buang Air Besar (BAB) di sekitaran sungai yang masih jamak dilakukan menambah rentan kondisi air tadi bagi kesehatan mereka.
Kendati demikian, meski punya keinginan untuk lepas dari rentetan masalah itu, mereka tidak punya pilihan selain bertahan hidup dalam kondisi serba terbatas itu.
Kini, penduduk di enam RT yang tersebar di Kawangu dan Watumbaka tadi perlahan-lahan sudah mulai bisa bernapas lega. Melalui Collaborative Habitat Advancement Management Program (CHAMP) yang dikerjakan Yayasan IDEP Selaras Alam dalam kolaborasi dengan PT HM Sampoerna, satu persatu masalah yang mereka hadapi mulai menemukan jalan keluar.
Secara umum, program CHAMP ini hendak mengupayakan terbentuknya komunitas masyarakat tangguh (resilient community) yang mampu hidup secara berkelanjutan bersama alam di sekitarnya. Upaya ini dilakukan melalui peningkatan kesadaran masyarakat terkait perilaku hidup sehat, penyediaan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak, penggunaan teknologi energi yang ramah lingkungan dan peningkatan kapasitas masyarakat melalui sistem pertanian permakultur yang berkelanjutan.
Pada awal tahun 2017, program CHAMP ini dimulai di tiga RT di Kawangu dengan serangkaian pelatihan tentang permakultur sebagai sebuah sistem pertanian yang menekankan tiga etika, yaitu peduli terhadap bumi, peduli terhadap manusia dan pembagian yang adil. Persis setahun kemudian, pelatihan yang sama dilakukan di tiga RT di Watumbaka.
Sesungguhnya, prinsip-prinsip permakultur ini sudah diterapkan sejak dulu sebelum masuk dan mengakarnya pertanian modern dan penggunaan bahan kimia yang merusak alam. Karenanya, dalam pelatihan tersebut, penduduk di enam RT tadi dilatih untuk mengelola kebun mereka dengan menggunakan metode dan bahan alami yang mudah ditemukan di sekitar mereka. Mulai dari rehabilitasi dan pengelolaan tanah, desain kebun, penanaman dengan metode polikultur, pembuatan pupuk dan pestisida alami, pengendalian hama terpadu, hingga pembenihan dan pembibitan.
Dengan semua bekal pengetahuan seperti itu, mereka kemudian diarahkan untuk mengelola kebun pekarangan keluarga (KPK) di sekitar rumah mereka. Kebun pekarangan ini juga sekaligus menjadi solusi untuk mengantisipasi banjir yang setiap tahun menghancurkan kebun-kebun mereka di sekitar sungai. Meski belum semua beralih ke kebun pekarangan, namun dari kebun-kebun itu kini mereka sudah dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga yang lebih sehat. Berbagai jenis sayuran dan tanaman bumbu mereka tanami di dalamnya. Dengan cara itu, mereka tidak saja mengurangi pengeluaran untuk konsumsi dengan rata-rata sebesar Rp200.000 per bulan, namun sebagian besar keluarga bahkan mendapatkan penghasilan rata-rata hingga Rp1.500.000 per bulan dari hasil penjualan kelebihan panen mereka.
Bersamaan dengan dimulainya program ini, berbagai kampanye hidup sehat juga mulai gencar dilakukan. Selain ke komunitas masyarakat di enam RT, kampanye juga digelar di lima SD dengan total 810 pelajar yang tersebar di Kawangu dan Watumbaka. Kampanye ini dilakukan secara interaktif agar dapat menarik minat pelajar terhadap penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), baik di lingkungan sekolah maupun di rumah. Agar maksimal, sekolah juga difasilitasi untuk memiliki beberapa sarana pendukung kebersihan dan sanitasi yang sehat. Tidak hanya itu, agar berkelanjutan, guru-guru juga difasilitasi dengan berbagai media berisi materi tentang pelestarian lingkungan dan gaya hidup bersih dan sehat.
Untuk mengatasi kendala air bersih, program ini menyediakan sistem air bersih melalui pembangunan lima paket sumur tenaga surya di empat RT, baik di Kawangu maupun Watumbaka. Dua RT lainnya sudah terlebih dahulu mendapatkannya dari program Pemerintah. Dengan kondisi sinar matahari yang begitu melimpah seperti di Sumba Timur, teknologi tenaga surya menjadi jawaban yang tepat untuk kebutuhan energi penduduk. Selain karena sinar matahari tersedia secara gratis, pemanfaatan teknologi seperti ini juga ramah lingkungan.
Dari 2o keran yang terpasang di lima sumur itu, kebutuhan air bersih 66 keluarga (325 jiwa) perlahan mulai terpenuhi. Selain untuk kebutuhan harian, air dari sumur tersebut juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kebun dan ternak mereka.
Setelah semua sumur sudah difungsikan, program ini kemudian dilanjutkan dengan penyediaan fasilitas sanitasi berupa toilet yang sumber airnya diperoleh dari sumur. Sejak pertengahan April lalu, 12 unit toilet yang dibangun sejak akhir tahun lalu sudah mulai dimanfaatkan penduduk. Toilet ini bukan toilet biasa. Selain lebih sehat, layak dan “alami”, toilet yang merupakan satu-satunya di Sumba Timur ini dibangun dengan menerapkan sistem Waste Water Garden agar ramah lingkungan. Dalam sistem WWG, secara ringkas, air limbah toilet yang sarat polutan akan terlebih dahulu disaring melalui akar sejumlah jenis tanaman yang ditanam di dalam toilet sebelum mencemari tanah dan lingkungan sekitar. Kelebihan lainnya, karena sudah disaring, air limbah toilet ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengairi kebun. (Ed)
Artikel ini sudah dipublikasikan di Pos Kupang edisi 17 Mei 2018.
Berikan bantuan yang akan merubah hidup. 100% mendanai proyek amal.
|