“Sekarang sudah berbeda setelah mendapat pelatihan dan mendapat ilmu dari IDEP,” tutur Carolina Yaku Danga tentang manfaat yang ia rasakan setelah mengikuti pelatihan permakultur di lingkungan tempat tinggalnya di RT 15, Kelurahan Watumbaka, Sumba Timur. Selain Mama Rian, begitu ia akrab disapa, ada 15 warga lain yang juga terlibat dalam pelatihan yang digelar pada awal tahun 2018 lalu itu.
Pelatihan yang ia maksud itu merupakan salah satu bagian dari Collaborative Habitat Advancement Management Program (CHAMP) yang dikerjakan Yayasan IDEP Selaras Alam (Bali) dalam kolaborasi dengan PT HM Sampoerna Tbk. Selain RT 15, program CHAMP ini juga berlokasi di lima RT lain yang tersebar di Kelurahan Watumbaka dan Kawangu, Sumba Timur.
Melalui program ini, komunitas masyarakat tersebut mendapatkan pendampingan untuk mampu meningkatkan kualitas hidup mereka secara berkelanjutan sembari pada saat yang sama juga melestarikan lingkungannya. Selain peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan permakultur, program ini juga berisi beberapa aktivitas seperti kampanye perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), penyediaan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak, serta penggunaan teknologi energi yang ramah lingkungan.
Sambil mengajak berkeliling di sekitar kebun keluarganya, Mama Rian menunjukkan hasil pertanian permakultur yang telah diterapkannya bersama suami dan dua anak perempuannya. Di kebun itu, ada sekitar 15 bedeng dengan aneka bentuk seperti jantung, huruf, spiral, setengah lingkaran dan persegi panjang yang hampir seluruh pinggirannya ditutupi sabut kelapa. Isinya macam-macam, mulai dari sawi, terong, kangkung, tomat, cabai dan pepaya. Ada juga beberapa tanaman bumbu seperti bawang, jahe, ketumbar dan serai. Dengan pola penanaman polikultur, satu bedeng mereka tanami dengan lebih dari satu jenis tanaman.
Sebagaimana prinsip permakultur yang mereka pelajari selama pelatihan, kebun-kebun itu dirawat tanpa menggunakan pupuk atau pestisida kimia yang kerap dipakai dalam pertanian modern. Sebagai pengganti, mereka kembali memanfaatkan bahan-bahan alami yang mudah didapatkan di sekitar.
Dari kebun-kebun itu, Mama Rian dan warga di lingkungannya kini mampu memenuhi kebutuhan pangan sehat untuk keluarganya. Hal ini kemudian secara langsung juga mengurangi pengeluaran untuk konsumsi harian mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan mendapatkan penghasilan dari penjualan surplus hasil panen mereka.
Dulu sebelum pelatihan, mereka selalu membeli sayuran dari penjual sayur keliling. Kadang-kadang, jika sempat mereka membelinya di pasar yang letaknya sangat jauh di pusat kota Waingapu. Hampir tiap hari seperti itu selama bertahun-tahun. Namun kini situasinya berbeda setelah bedeng-bedeng di kebun mereka sudah mulai bisa dipanen.
“Kami hampir tidak pernah lagi beli sayur di pasar. Kalau sayur yang kami mau tidak ada di kebun, kami beli dari tetangga. Mereka juga begitu. Kalau mereka tidak punya, mereka beli dari kami,” urai Mama Rian yang juga merupakan Ketua RT 15. “Selain untuk makan, kami juga bawa hasilnya untuk dijual ke pasar. Sampai di pasar kami barter. Kami jual tomat lalu sebagian hasilnya kami beli ikan. Tetangga di sekitar juga begitu,” lanjutnya.
Menurut pengakuan mereka dalam sebuah pertemuan di lingkungannya, mereka kini mampu menghemat rata-rata sebesar Rp150.000 per bulan. Dan pada saat yang sama, dari penjualan hasil kebun mereka kini mampu meraup penghasilan hingga Rp500.000 per bulan.
Bukan cuma tentang manfaat pelatihan yang ia dan warganya dapatkan, Mama Rian juga juga bercerita soal apa yang mereka rasakan sejak program CHAMP tadi mulai dikerjakan. Salah satunya adalah tentang tersedianya akses yang lebih dekat ke fasilitas air bersih berupa sumur tenaga surya yang terhubung ke sejumlah bak penampung dan keran di dekat pemukiman mereka. Dari situ, kebutuhan air bersih 6o jiwa di RT mereka dan 265 jiwa di lima RT lain kini dapat terpenuhi.
“Kami sangat berterima kasih sekali dengan adanya bantuan seperti itu. Itu memudahkan semuanya untuk ambil air minum, mandi, masak, cuci, siram tanaman dan minum ternak. Semuanya sudah lebih dekat. Jadi kami tidak susah lagi. Baik di musim kemarau maupun musim hujan, kami tetap bisa mendapatkan air bersih.”
Hidup di pelosok Sumba Timur, seperti di Watumbaka dan Kawangu, tidaklah mudah. Satu-satunya sumber air mereka berasal dari sungai terdekat yang sangat rentan tercemar berbagai polutan seperti sisa pestisida kimia, sampah rumah tangga dan kotoran hewan yang terbawa dari hulu. Kebiasaan Buang Air Besar (BAB) di sekitaran sungai yang masih marak dilakukan turut menambah rentan kondisi air tadi bagi kesehatan mereka.
Selain sumur tenaga surya yang ramah lingkungan, baik masyarakat di Watumbaka maupun Kawangu kini juga telah memiliki fasilitas sanitasi berupa toilet yang lebih sehat, layak dan “alami”. Toilet itu dibangun dengan menerapkan sistem Waste Water Garden agar ramah lingkungan. Dalam sistem WWG yang merupakan satu-satunya di Sumba Timur itu, secara ringkas, air limbah toilet yang sarat polutan akan terlebih dahulu disaring melalui sejumlah jenis tanaman di dalam toilet sebelum mencemari tanah dan lingkungan sekitar. Kelebihan lainnya, karena sudah disaring, air limbah toilet ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengairi kebun.
Di akhir ceritanya, Mama Rian mengungkapkan keinginannya untuk menyebarluaskan pengetahuan dan pengalamannya ke lebih banyak orang. “Jadi kami sangat berterima kasih karena telah dilatih. Dan kami juga mau untuk melatih teman-teman kami yang belum ikut pelatihan di sini. Kami juga mau supaya mereka yang lain, di Kelurahan Watumbaka bahkan di Sumba Timur ini, untuk juga mengikuti pekerjaan kami, khususnya bertanam atau berkebun sayur.” (Ed)
Artikel ini sudah dipublikasikan di Pos Kupang edisi 19 Mei 2018.
Berikan bantuan yang akan merubah hidup. 100% mendanai proyek amal.
|