Di sebuah tenda pengungsian, Anirah terlihat gelisah ketika ditanya tentang kondisi terakhirnya. “Mau pulang tapi sudah ndak ada rumah,” jawab perempuan berusia 45 tahun ini. Suaranya agak berat. “Kita ngekos di sini,” lanjutnya setengah bercanda. Pandangannya lalu menyapu tenda berukuran 6x8 meter itu.
Dari kiri ke kanan, Ekawati dan Anirah tersenyum sambil memegang Ember Keluarga yang baru mereka terima (Foto: Edward Angimoy)
Sejak gempa 7 SR mengguncang Lombok 5 Agustus lalu, keluarga Anirah tinggal di situ bersama 4 keluarga lain. Jumlah mereka sekitar 35 orang.
Anirah adalah salah satu pengungsi yang kami temui di Dusun Kuripan, Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Dari kota Mataram, dusun ini berjarak sekitar dua jam perjalanan dengan mobil.
Cuaca siang itu agak panas. Sesekali debu beterbangan ke sana-sini ketika ada yang lewat. Sambil memperbaiki letak jilbabnya, Anirah kembali melanjutkan cerita ketika gempa terjadi.
“Yang tanggal 5 Agustus itu, semua rumah sudah rata. Untungnya ndak ada korban (meninggal-Red.) di wilayah ini. Cuma luka-luka ringan aja. Waktu itu kita lagi kumpul di rumah pak Kadus (Kepala Dusun-Red.) karena ada pembagian sembako,” Anirah coba mengurutkan kembali ingatannya.
Sejak gempa pertama tanggal 29 Juli lalu, warga di dusun berpenghuni 121 keluarga ini telah mendapatkan bantuan berupa sembako. “Tapi belum habis dibagi, gempanya sudah datang,” sambungnya cepat.
Seperti yang kami saksikan, hampir semua rumah di sini ambruk diterjang gempa. Dalam kondisi demikian, sangat berisiko jika rumah-rumah itu kembali ditempati.
Di samping tenda tempat Anirah mengungsi, sebuah rumah kayu masih tegak berdiri. “Cuma yang seperti itu yang bertahan,” ujarnya dengan dagu menunjuk ke rumah tersebut. “Kalau rumah tembok, ndak ada yang bertahan, satupun ndak ada.”
Kendati tak sedahsyat tanggal 5 Agustus, gempa berkekuatan kecil masih saja terus berlangsung. “Gempanya masih sampai sekarang. Tadi ada,” terang Anirah.
Data BNPB memang menunjukkan itu. Tercatat, hingga saat Anirah bercerita, Lombok telah diguncang gempa sekitar 1.000 kali. “Tadi malam 5,0 (skala richter-Red.) kekuatannya. Kalau gempa begitu, kita semua kabur ke jalan,” suaranya meninggi di ujung kalimat.
Siang itu, kami mendistribusikan paket bantuan berupa Ember Keluarga (Family Bucket) kepada seluruh keluarga di dusun itu, termasuk keluarga Anirah. Distribusi dilakukan di sebuah posko yang letaknya berseberangan dengan tenda tempat kami mengobrol.
Suasana di situ begitu ramai. Dari pengeras suara, sejumlah nama Kepala Keluarga yang sebelumnya sudah terdaftar dipanggil untuk menerima paket bantuan tersebut. Tim relawan dari SAR Mapala Muhammadiyah terlihat mondar-mandir membantu kami melancarkan distribusi.
Pada saat bersamaan, tepat di sebelah tenda, dua psikolog dari mitra kami, Yayasan Pulih, tampak sedang memandu jalannya sejumlah permainan bersama anak-anak.
Anirah sendiri punya empat orang anak. Selain anak pertamanya yang sudah menikah, tiga lainnya kini tinggal bersamanya. Salah satu di antara anak-anak yang sedang bermain tadi adalah anak bungsunya.
“Saya kasihan sama anak-anak ini. Dia menangis minta rumah. Di mana rumah saya, dia bilang,” Anirah coba menirukan dengan mimik yang kaku. “Kalau dia tidur di sini,” lanjutnya sambil menepuk terpal yang juga menjadi alas tidur mereka, “dia selalu meraung-raung, badannya sakit.”
Ia lalu bercerita tentang anak-anaknya yang juga kerap menangis karena tak bisa bersekolah dan mengaji. “Untung saja ada tim SAR,” tukasnya merujuk pada relawan SAR Mapala Muhammadiyah, “yang mengajar mengaji, sekolah. Selama mereka di sini, anak-anak senang sekali diajari segala macam.”
Ekawati, ibu dua anak yang duduk bersisian dengan Anirah, juga mulai angkat bicara. “Iya, sejak gempa itu tiap hari anak-anak tanya kita sekolah di mana. Mereka bilang begitu. Pengen sekolah katanya."
Sebelum gempa, seperti halnya sebagian besar warga dusun ini, Anirah adalah seorang petani. Dari kebunnya, ia biasa memanen cokelat, pisang, kopi dan durian. Hasil panen itu kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
“Cokelat yang tiap minggu kita petik kalau ada buahnya,” urainya. “Tapi sekarang sudah ndak bisa ke kebun. Insyaallah, mudah-mudahan, kalau gempanya sudah tidak terasa, insyaallah bisa kita ke kebun untuk menutup apa yang kurang tiap hari. Mudah-mudahan, insyaallah,” tandasnya berapi-api.
Hampir mirip ceritanya dengan yang terjadi di banyak dusun lain di Lombok, banyak warga dusun ini yang pergi merantau. Niatnya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Jika bukan Kalimantan, maka Malaysia dan Arab Saudi merupakan tempat yang kerap dituju. Sebagian besar yang pergi adalah laki-laki dewasa. Salah satunya, suami Anirah.
“Bapak pergi ke Kalimantan. Baru empat bulan,” terangnya. Ketika kemudian ditanya apakah suaminya sudah mengetahui kondisi mereka setelah diguncang gempa, ia hanya menjawab pendek, “Iya.”
Anirah lalu mengalihkan pembicaraan. “Tapi saya beryukur ada bantuan seperti ini. Saya bersyukur. Terima kasih yang banyak atas bantuannya sudah mau diantar naik ke sini.” Kali ini matanya berbinar.
Sebelum kami ajak bicara, ia ternyata telah terlebih dahulu mendapatkan giliran menerima Ember Keluarga. Sambil memegang ember dan tumpukan makanan segar yang sudah diterimanya, ia kembali bercerita saat ditanya tentang perasaannya. “Iya tadi sudah lihat semua isinya,” kali ini ia tertawa lepas.
Ember yang kami bagikan itu berisi kebutuhan pokok selama dua minggu seperti persediaan makanan dan minuman, kebutuhan bayi, obat-obatan, perlengkapan sanitasi, perlengkapan shelter dan media edukasi terkait kebencanaan.
“Alhamdulilah saya merasa senang,” ujarnya. Sejurus kemudian, ia menunjuk salah satu perempuan yang berdiri tidak jauh darinya, “dia cerita semua isinya, semua cukup, semua cukup.” Beberapa perempuan yang mengitari Anirah langsung menyambutnya dengan tawa sebelum kalimatnya berhenti. Perempuan yang ditunjuknya tadi tersenyum malu.
“Sekarang inilah yang ada sayur-sayuran. Dan yang ini lebih cukup,” tandasnya sambil sekali lagi menepuk-nepuk embernya.
Kelompok anak-anak yang tadi sedang bermain seketika ramai dengan tawa. Anirah dan Ekawati menoleh sebentar memperhatikan anak-anak mereka. Senyum tipis tampak sedikit mengembang di raut wajah keduanya.
Anirah lalu kembali buka suara saat ditanya bagaimana rasanya tinggal di tenda. “Di sini dingin kalau malam. Kalau siang gini panas. Tinggal di sini rasanya sakit,” keluhnya.
“Sakitnya ada, sedihnya ada. Kalau pagi dan siang ndak terlalu terasa, kalau malam kelihatan sedihnya,” sahut Ekawati menambahkan. Suaranya sedikit bergetar.
Setelah jeda beberapa saat, Anirah mulai bicara tentang ketersediaan air. “Air kita ambil di kali. Masih terasa takut, tapi mau bagaimana lagi,” sedikit tawa terselip di situ, “kita ndak punya air. Tangki air sudah dua kali datang. Tadi malam dan kemarin. Baru dua kali.”
Tidak hanya soal air, listrik juga menjadi soal di sini. “Lampu kita di sini ndak punya. Kita pakai lampu bulan," Anirah menyisipkan sepotong komedi sambil tertawa sendiri. “Listriknya ambruk waktu malam gempa besar,” ingatannya kembali ke gempa tanggal 5 Agustus.
“Jadi pakai cahaya bulan dan bakar kayu. Itu sudah lampunya,” Ekawati menyahut. “Ada banyak kayu di sini.”
Tak terasa pembicaraan bersama keduanya sudah hampir tiba di penghujung. Anirah dan Ekawati belum bergeser dari posisi duduknya sejak awal.
Ketika ditanya tentang harapannya, Anirah sempat ragu sesaat sebelum mengajukan jawaban. “Sekarang makanan ada, tapi rumah yang kita ndak punya.” Tatapannya agak kosong.
Untuk pertanyaan yang sama, Ekawati menjawab dengan lebih meyakinkan. “Kepengen punya rumah.”
“Itu yang diutamakan saya mau,” ungkap Anirah menyetujui Ekawati.
“Pengen itu tiap hari tiap malam. Biar ada tempat tinggal buat anak-anak,” kejar Ekawati memberi penjelasan.
Hari belum terlalu sore. Di kejauhan, pengeras suara di tempat distribusi Ember Keluarga sudah berhenti memanggil-manggil nama. Distribusi ternyata sudah selesai. 121 keluarga di dusun itu sudah mendapatkan bagiannya masing-masing.
Sebelum benar-benar menutup pembicaraan, Anirah kembali menegaskan harapannya. “Cuma itu yang kita harapkan, pengen punya rumah. Tapi kita cuma bisa berdoa, pasrah. Mudah-mudahan ada yang mau bantu kita di sini." Begitu kalimatnya selesai, matanya kembali menoleh ke arah anaknya yang belum berhenti bermain. (Ed)
Berikan bantuan yang akan merubah hidup. 100% mendanai proyek amal.
|