Cuaca panas dan berdebu sangat terasa ketika kami baru menginjakan kaki di Desa Tianyar, Karangasem pada 22 Juni 2021. Siapa sangka, desa ini mampu menerapkan sistem permakultur. Tanah kering, air yang sulit diperoleh, serta panasnya terik matahari justru menjadi alasan mereka menerapkan permakultur. Permasalah-permasalahan ini perlahan telah dipecahkan, bahkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Sayu Komang (staff IDEP) sedang berbincang dengan Ibu Ugu, pengurus TUK
Tantangan ketersediaan air yang selalu dihadapi bertahun-tahun, mereka atasi dengan membuat sistem penampung air hujan. Selain itu, musim kemarau yang berkepanjangan kerap membuat mereka kehilangan sumber mata pencaharian, karena kebun yang tidak menghasilkan. Untuk meminimalisir ancaman tersebut, ibu-ibu di Desa Tianyar Tengah pun membuat TUK (Tabungan untuk Kehidupan). “Ketika ada TUK, jadi bisa nabung dan dipakai ketika musim panen berakhir,” ungkap Ugu yang sedang menunggu ibu-ibu lainnya di pertemuan TUK.
Ibu-ibu membuka kotak berisi uang tabungan dan dokumen penting TUK
Proses menabung yang disaksikan seluruh anggota TUK
Sejak lama masyarakat Desa Tianyar menghadapi musim kemarau setelah panen berakhir. Berbagai cara mereka lakukan, seperti mengolah nira lontar menjadi gula merah. Namun, umurnya pun tidak bertahan lama, terlebih harga yang diatur tengkulak membuat petani ketergantungan. Akan tetapi baru-baru ini kelompok tani setempat membangun UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang khusus memproduksi gula semut dari tanaman lontar di kebun mereka. Usaha kolektif ini bernama Bali Mesari yang lahir di akhir 2020 kemarin.
UMKM milik masyarakat di Desa Tianyar
Tim IDEP mencicipi Gula Semut produksi petani sekitar
Meskipun pandemi Covid-19 berdampak juga bagi para petani, namun mereka mampu adaptif dan berusaha untuk bangkit bersama. Gula semut yang mereka produksi pun memiliki nilai jual yang tinggi karena khasiatnya dan mampu bertahan lebih lama dari gula merah. Tidak lagi menunggu tengkulak, karena mereka bisa memanfaatkan pelantar daring untuk memasarkan produknya. “Sekarang kami jual secara online, untuk pengiriman bisa menggunakan J&T,” kata Artana yang ditemui di rumah produksi Gula Semut Lontar.
Bunga Lontar yang menghasilkan air nira untuk difermentasi menjadi tuak
Buah Lontar yang bisa dikondumsi dan menjadi pakan ternak
Lontar selalu ditemui di sepanjang jalan Desa Tianyar, mereka tumbuh dimana-mana tanpa perawatan yang signifikan. Hampir seluruh bagian dalam tanaman ini dapat dimanfaatkan. Terutama nira-nya yang bisa menjadi tuak, arak, dan tentu saja gula. Para petani juga mengetahui potensi di daerahnya selain lontar, seperti ubi, undis, dan kelor. Bahkan hidangan ubi rebus yang mereka sajikan diambil langsung dari kebun. Tidak seperti ubi rebus pada umumnya, rasa manis dan kental dalam cemilian ini diperoleh dari campuran tuak manis yang berasal dari nira lontar.
Diskusi tim IDEP dengan ibu-ibu terkait penerapan permakultur
Secara perlahan petani Desa Tianyar mampu bertahan secara mandiri dengan memanfaatkan segala potensi lokal yang ada di daerahnya. Mereka juga menyadari pentingnya usaha kolektif untuk menghadapi masa-masa sulit, seperti pandemi kali ini. Upaya para petani, khususnya ibu-ibu di Desa Tianyar disadari atau tidak telah menerapkan prinsip-prinsip dari permakultur. Pengalaman mereka telah menambah pengetahuan kami tentang penerapan permakultur di Bali.
Berikan bantuan yang akan merubah hidup. 100% mendanai proyek amal.
|