info@idepfoundation.org

(+62) 361 9082983

Suarakan Krisis Lingkungan dalam Berbagai Cara

“Suara-Suara di Tengah Krisis Air” hadir sebagai wadah untuk siapa saja bercerita tentang kondisi sosial, lingkungan, hingga psikologis, ketika menghadapi degradasi sosial dan lingkungan. Terutama hadirnya krisis air yang secara perlahan mulai disadari. Satu persatu masalah muncul, disaat ketersediaan air bersih mulai menyusut.

 

 

IMG 6539 2

Diskusi tentang Perempuan dan Kebencanaan (Foto: Gusti Diah)

 

  

Terjadinya degradasi air adalah implikasi dari eksploitasi air bawah tanah yang kian masif. Permasalahan ini telah dilihat oleh IDEP sebagai sebuah ancaman untuk keberlangsungan alam di Bali. Untuk itu, pada 2012 gerakan Bali Water Protection (BWP) mulai dirancang. Kampanye pun mulai digalakan dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Upaya ini juga tercermin dari festival yang BWP lakukan pada 4 Desember 2021.

 

 

Ceritakan Peduli Lingkungan dari Warna

 

Acara “Suara-Suara di Tengah Krisis Air” juga menjadi wadah bersuara anak-anak di Bali melalui kegiatan mewarnai. Dalam satu halaman gambar, mereka diajak untuk berimajinasi melalui warna dan dialog, mengembangkan apa yang telah disajikan dalam ilustrasi karya Beluluk (Putu Dian). “Jadi banyak ilustrasi yang terinspirasi dari aktivitas sehari-hari. Tidak hanya menceritakan, anak-anak juga menyisipkan kesan dan pesan terhadap gambar yang mereka warnai,” ungkap Dewa Wira dari Bali Water Protection.

 

 

IMG 6287 2

Peserta memilih gambar-gambar yang nantinya akan mereka warnai dan ceritakan (Foto: Gusti Diah)

 

Aktivitas mewarnai kali ini menjadi primadona anak-anak, sebab mereka dapat memahami pesan yang ada tanpa adanya tekanan. “Saya ingin lagi ikut acara-acara BWP ini, karena acaranya bagus. TIdak membosankan,” ungkap Gusti Ayu Kusuma, peserta mewarnai. Ia pun menambahkan informasi-informasi baru yang diperoleh dari kelas daring dan lomba mewarnai, “Menurut saya, kalo tidak ada air, kita tidak bisa hidup. Maka dari itu, kita harus menghemat air seperti matikan keran jika tidak digunakan dan gunakan air secukupnya.”

 

 

 

IMG 6328 2

Peserta mulai mewarnai gambar yang mereka pilih (Foto: Gusti Diah)

 

 

Ketika pandemi, program BWP yang melibatkan anak-anak dilakukan melalui kelas daring untuk berbagai daerah di Bali. Ada banyak aktivitas yang dilakukan secara daring, dimulai dari pemaparan tentang kondisi air di Bali, kuis, dan membuat essay bersama. Kemudian setiap sekolah akan mendapatkan media pembelajaran terkait konservasi air melalui buku komik dan mewarnai. “Sekolah sangat senang ketika hadir kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan dan alam, terlebih melibatkan anak-anak untuk beraktivitas bersama,” ungkap Dewa yang juga menjadi PIC untuk aktivitas Adopt A River, edukasi ke sekolah-sekolah.

 

 

Ketika Perempuan Bersuara untuk Hak dan Lingkungan

 

Seperti tujuan BWP untuk melibatkan berbagai lapisan masyarakat, festival yang berlangsung di Geo Open Space, Kerobokan ini juga melibatkan aktivis-aktivis perempuan yang bergerak untuk keadilan lingkungan hidup. Diskusi bertema Perempuan dan Kebencanaan ini pun dipandu oleh komunitas Feminists Space dengan menghadirkan Harwati, warga terdampak Lumpur Lapindo.

 

 

IMG 6517 2

Ketika Harwati bercerita tentang kondisi pasca munculnya lumpur lapindo (Foto: Gusti Diah)

 

 

Hampir 15 tahun pasca kejadian Lumpur Lapindo, Harwati melakukan berbagai langkah dan strategi untuk memperjuangkan hak warga terdampak. Ia pun bercerita tentang awal mula masuknya perusahaan Lapindo. “Waktu Lumpur Lapindo, saya sedang mengandung anak kedua, tidak tahu bahwa lumpur itu berbahaya dan kita semua menghirup bau itu,” ungkap Harwati.

 

 

Keresahan Harwati rupaya dirasakan juga oleh warga lainnya. Dalam hitungan bulan, kampung-kampung telah tertutup lumpur. Mereka pun direlokasi ke pengungsian. Situasi pengungsian ternyata tidak ramah bagi ibu hamil dan menyusui, anak-anak, dan para lanisa. Semua orang disatukan dalam satu tempat yang sama, sehingga perawatan khusus pun tidak ada. Kondisi pengungsian dan polusi yang diakibatkan lumpur lapindo sangat berdampak bagi kesehatan warga terdampak. Untuk itu, Harwati mengajak warga lainnya yang juga resah untuk merancang tuntutan terkait hak lingkungan hidup mereka. “Dari awal kita memang membawa permasalahan kesehatan ini, apalagi dari yang saya amati, banyak perempuan yang sampai terkena kanker serviks dan payudara,” ungkap perempuan asal Porong ini.

 

 

Hingga saat ini, isu kesehatan dan lingkungan masih terus dibawa oleh Harwati dan perempuan-perempuan tangguh di desa-desa terdampak Lumpur Lapindo. Mereka pun membangun Komunitas Perempuan dan Anak sebagai wadah untuk mereka mencurahkan isi hati dan tempat mereka untuk mengadu. Sampai saat ini, komunitas tersebut telah memiliki badan usaha, kebun kolektif, dan treatment air, sebab air disana telah terkontaminasi Lumpur Lapindo.

 

 

Cerita Harwati telah membuka perspektif dalam diskusi ini, terutama tentang suara perempuan yang sebetulnya sangat fundamental. Krisis lingkungan yang terjadi pun telah mengancam berbagai aspek, dari sosial, ekonomi, budaya, dan kesehatan. Untuk itu, bencana ini perlu dicegah sebelum bertambah buruk.

 

Melihat Temuan tentang Proyek yang Mengancam Lingkungan dan Subak

 

Krisis lingkungan perlu dicegah, itu pun yang dilakukan Walhi Bali ketika menemukan potensi masalah yang dapat terjadi ketika pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi dicanangkan hingga diimplementasikan. “Kami melihat bahwa jalan ini [tol] memiliki dampak buruk bagi lahan pertanian dimana lahan yang sebenarnya digunakan sebagai tata kelola air,” ungkap Bokis dari Walhi Bali.

 

 

IMG 6548 2

Bokis memaparkan temuan Walhi Bali tentang dampak lingkungan yang diakbiatkan dari pembangunan jalan tol Gilimanuk-Mengwi (Foto: Gusti Diah)

 

 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Walhi Bali dan peneliti lainnya, berdasarkan dokumen dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa Jembrana dan Tabanan memiliki peran besar dalam pelestarian alam. Namun ketika pembangunan tol dilakukan akan mengancam fungsi alami dua daerah tersebut. Kemudian proyek ini akan mengancam lahan subak, sehingga mengancam kedaulatan pangan di Bali. Selain itu, Walhi melihat adanya kejanggalan, seperti pembangunan yang dikebut di masa pandemi serta tidak adanya narasi yang jelas terkait alasan dibangunnya jalan tol.

 

 

Disamping masalah dan kejanggalangan yang ada, pembangunan jalan tol juga memiliki solusi yaitu peningkatan ekonomi. Narasi ini yang banyak digunakan investor maupun pemerintah. Namun itu justru menjadi celah yang curam. “Pembangunan tol biasanya dihubungkan dengan konektivitas untuk peningkatan ekonomi. Namun ini hanya menghubungkan kota-kota besar. Meningkatkan perekonomian kota-kota besar, dan mengancam ekonomi lokal dan lokalitas yang ada,” ungkap Gustu, peserta yang menghadiri diskusi.

 

 

Diskusi kali ini meneropong lebih dalam tentang dampak yang diakibatkan dari pembangunan infrastruktur. Bahkan seperti laporan Walhi Bali, pembangunan tol akan mengancam fungsi alami sebagai pelestarian alam dan penyerapan air di wilayah Jembrana dan Tabanan. Fungsi ini benar adanya dan saat ini semakin terancam akibat pembangunan yang tidak berorientasi lingkungan. Kondisi tersebut tercermin dari film dokumenter berjudul Lokawana: The Forest and the Hustle of Man.

 

 

Lokawana: Refleksi Krisis Lingkungan di Bali

 

Film Lokawana mengambil tempat di Desa Yehembang Kauh, Jembrana, salah satu hutan yang masih tersisa di Bali dan sangat terancam. Tepatnya Hutan Bali Barat yang telah mengalami beberapa kali perambahan hutan. Fenomena ini erat kaitannya dengan Ngawen yang masyarakat lokal kenal sebagai aktivitas merambah hutan untuk membuka lahan, sebagian besar untuk pertanian. Namun ada dilema yang muncul ketika aktivitas ini dilakukan, di satu sisi mereka menyadari pentingnya menjaga hutan untuk keberlangsungan alam dan hidup mereka. Tapi di sisi lain, mereka perlu memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kita tidak bisa membiarkan penebangan hutan, tapi tidak serta merta melempar semua tuduhan ke masyarakat,” ungkap Wayan Martino, sutradara film Lokawana.

 

 

IMG 6578 2

Pemutaran film Lokawana (Foto: Gusti Diah)

 

 

Bentuk hierarki di masyarakat telah memaksa mereka untuk mengikuti aturan yang diciptakan penguasa dan menjadi bersalah karenanya. Ketika alternatif hadir, masyarakat sebenarnya dapat mandiri tanpa merambah hutan. Budaya-budaya hidup berkelanjutan sebenarnya telah mereka miliki dan pengetahuan itulah yang coba digali oleh IDEP sebagai yayasan yang bergerak melalui permakultur dan mitigasi bencana. IDEP hadir dengan menawarkan berbagai program seperti membangun kebun pekarangan keluarga, pelatihan pasca-panen untuk meningkatkan nilai produk, pelatihan mitigasi bencana, serta membangun relasi yang baik antar komunitas lokal melalui hutan belajar. “Saya tidak punya kekuatan untuk memerintah orang, tapi saya ingin mengajak untuk sama-sama menjaga hutan kita agar tetap lestari. Melalui Hutan Belajar ini kita bisa melestarikan hutan, sudah ada bibit-bibit tanaman endemik disana yang nanti akan ditanam kembali di hutan,” kata Restu, masyarakat lokal Yehembang Kauh.

 

 

IMG 6582 2

Peserta yang menghadiri diskusi dan pemutaran film Lokawana (Foto: Gusti Diah)

 

 

Restu dan beberapa kelompok masyarakat lokal di Hutan Bali Barat menyadari pentingnya hutan, terutama berkaitan dengan air. Hutan hadir juga sebagai zona penyerapan air yang nantinya akan menghidupi aktivitas di hilir. Tapi setiap tahunnya fungsi hutan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya perambahan hutan. “Nama desanya Yehembang artinya air yang berlimpah, namun ketika musim kemarau sangat kering dan saat musim hujan kebanjiran,” jelas Dewie Anggraini dari Bali Water Protection dan producer film Lokawana.

 

 

“Krisis air bukanlah barang baru, Bali pun sudah membicarakan isu ini dari 10 tahun yang lalu. Bisa dibayangkan Bali tanpa air, dari pertaniannya dan semua. Kita bisa melihat bencana yang dapat terjadi seperti kekeringan, kebanjiran, dan sebagainya yang tidak bisa dipisah-pisah,” menurut Longgena Ginting, aktivis lingkungan. Untuk itu, kepala Greenpeace Indonesia tahun 2012 ini berharap nantinya akan ada suatu wadah yang menjadi pijakan seluruh elemen masyarakat dalam upaya penyelamatan dari krisis air dan lingkungan. “Kita perlu menyadari bersama bahwa pulau Bali sedang tidak baik-baik saja, telah terjadi krisis air yang parah dan perlu adanya peran kita bersama untuk mengatasinya,” tambah Dewie.(Gd)

 
 
 

Berlangganan Buletin IDEP

Berikan bantuan yang akan merubah hidup. 100% mendanai proyek amal.

 

 

IDEP Foundation | Helping People to Help Themselves

IDEP Foundation | Yayasan IDEP Selaras Alam
Membantu Masyarakat Mandiri
Br. Medahan, Desa Kemenuh, Sukawati
Gianyar - Bali
Telp. +62 361 9082983

 

 
 
 

 

IDEP di Instagram