Selama kurun waktu tiga tahun, Kalimantan Barat, tepatnya wilayah Kapuas Hulu kerap mengalami banjir yang dapat berlangsung berbulan-bulan. “Salah satunya karena eksploitasi hutan yang berlebih, kedua ada pertambangan emas, ketiga perladangan yang berpindah-pindah, dan pendangkalan sungai. Jadi tidak ada lagi daerah resapan air,” ungkap Aidi Sapri, peserta Pelatihan Pengantar Permakultur yang difasilitasi IDEP.
Sapri menjelaskan tentang rencananya membangun pertanian berkelanjutan (Foto: Gusti Diah)
Setiap tahunnya hutan dirambah dan tiap tahun juga masyarakat harus menghadapi banjir yang berkepanjangan. Sebagian besar alih fungsi lahan diperuntukan untuk membangun perkebunan monokultur seperti sawit dan karet. Padahal jauh sebelum perusahaan datang dan memperkenalkan sawit, masyarakat lokal setempat telah menanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan mereka. “Dari nenek moyang kita sudah menanam tanaman pangan, ada padi juga. Itu jauh sekitar 20 tahun yang lalu, sebelum kita mengambil pekerjaan berladang sawit dan karet,” kata Sapri yang juga sebagai warga Nanga Nuar, Kalimantan Barat.
Pengetahuan tentang pertanian ramah lingkungan sebenarnya telah dimiliki generasi sebelum Sapri. Ia menambahkan bahwa sebelum mengenal pupuk dan racun kimia, sistem pertanian yang diterapkan masyarakat lokal lebih tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar.
Awal Mula Perusahaan Sawit Hadir di Tengah-Tengah Masyarakat
Sawit adalah hal baru bagi masyarakat, namun bentuk-bentuk yang ditawarkan membuat masyarakat mau tidak mau beralih ke perkebunan monokultur ini. Terlebih masyarakat hanya mengikuti segala anjuran pemerintah, sebab yang mempersilahkan hutan dirambah adalah pemerintah. “Terus terang yang menetapkan hutan kawasan kan pemerintah, yang menyatakan boleh tidak boleh digarap itu pemerintah juga, yang ngasih izin juga pemerintah. Bukan kita-kita,” jelas Sapri.
Sistem penjualan sawit pun cenderung mengikuti aturan perusahaan, sebab sawit tidak bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat. Perlu adanya pengolahan yang hanya bisa dilakukan di pabrik milik perusahaan. Maka dari itu, tidak ada petani yang mau protes terkait harga yang telah ditetapkan perusahaan.
Ada dua model penjualan dari petani hingga sampai ke perusahaan. Pertama, petani yang memiliki perkebunan skala kecil menjualnya ke tengkulak. Kedua, petani dengan lahan yang termasuk golongan besar dapat langsung menjualnya ke perusahaan. Seperti Zulkipli yang memiliki lahan sekitar 60 hektar, ia dapat langsung menjualnya ke perusahaan. “Kalo yang ke Salim Group (Perusahaan Sawit) langsung pakai harga mereka, harga lebih tinggi dari ke tengkulak,” ungkap Zulkipli, warga asal Desa Nangan Silat, Kapuas Hulu.
Setiap peserta memaparkan rencana kedepan untuk desain wanatani (Foto: Gusti Diah)
Berbeda dengan Sapri yang memiliki lahan tergolong kecil, sehingga ia harus menjualnya ke tengkulak. Selain itu, permasalahan lahan juga sering terjadi antara masyarakat dan perusahaan. “Terus terang dearah kita kan masuk ke dalam HPT [Hutan Produksi Terbatas], tahun 2000 masyarakat diminta untuk menyerahkan lahan ke perusahaan sawit. Kami tidak tahu ternyata lahan kami tidak boleh untuk tanaman sawit dari perusahaan,” kata Sapri. Ia pun menambahkan, “Masyarakat yang mengetahui tentang aturan yang tidak membolehkan perusahaan membabat hutan melapor. 2011 keluar surat dari bupati untuk menghentikan aktivitas perusahaan, tapi tidak ada implementasinya. 2018-2019 baru ada, tapi cuma sedikit.”
Selain membawa sawit, perusahaan juga datang dengan memperkenalkan pupuk kimia, pestisida, dan herbisida kepada masyarakat. Bertahun-tahun masyarakat pun menggunakan ramuan tersebut dan setiap tahunnya mereka yang disebut hama pun semakin resisten.
Rukiyah mengambil cabai untuk pelatihan pembenihan (Foto: Gusti Diah)
Mengenal Kembali Pertanian Berkelanjutan
Melalui Pelatihan Pengantar Permakultur yang dilakukan pada 1-4 November 2021, peserta mulai menyadari kebergantungannya akan bahan-bahan kimia untuk pertanian dan perusahaan dapat mengancam kestabilan ekonomi mereka. Terlebih masyarakat juga menyadari dampak dari alih fungsi lahan menjadi perkebunan monokultur telah menyebabkan bencana seperti banjir. Namun usaha untuk menjaga hutan dan merubah sistem pertanian menjadi lebih ramah lingkungan tidak cukup hanya dilakukan oleh sekelompok petani apalagi satu orang petani. Langkah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk perlunya peran dan tanggung jawab pemerintah dan perusahaan. “Kalo sekelompok kecil ingin mengubah Kalimantan yang sebesar itu kan tidak mudah, perlu ada dukungan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Apalagi perusahaan memiliki kewajiban karena mereka bekerja di lingkungan desa, mereka harus berkontribusi,” jelas Sapri.
Peserta mendesain kebun permakultur (Foto: Gusti Diah)
Selain itu bentuk pelatihan seperti yang Sapri terima bersama IDEP juga dia harapkan bisa dilaksanakan di daerahnya, “dengan demikian tingkat bencana di tahun-tahun kedepan bisa diminimalisir,” tambah Sapri. Harapan yang sama juga disampaikan peserta lainnya, “semoga nanti bisa ada pelatihan algi dan kita mendapat bantuan ilmu lebih banyak lagi,” ungkap Sohemah dari Desa Kerangan Panjang, Kalimantan barat. (Gd)
Berikan bantuan yang akan merubah hidup. 100% mendanai proyek amal.
|